Kamis, 07 Oktober 2010

Sistem Informasi & Tanda Tanpa Makna , DKI Jakarta

Kesadaran instansi pelayanan dan fasilitas publik atau pengelola suatu ruang publik selama ini masih menganggap bahwa sistem informasi hanya pelengkap dari fasilitas layanan publik. Padahal keberhasilan sebuah rancangan tanda-tanda dalam sistem informasi berarti membantu keberhasilan tujuan pengadaan fasilitas & layan publik. Kepentingan publik terlayani untuk mendapat informasi dan perlindungan selama perjalanan. Kepentingan publik akan terlayani dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kehidupan kota modern. Tanpa sistem informasi, maka kota kehilangan makna. Tanpa sistem insformasi transportasi tidak akan memobilisasi massa secara efisien, perlindungan terhadap publik akan terabaikan, fasilitas-fasilitas umum tidak termanfaatkan secara maksimal. Itu artinya bahwa dana pemerintah yang telah di investasikan untuk membangun fasilitas layanan publik menjadi sia-sia.

Sebuah sistem informasi yang ditujukan untuk publik, sudah seharusnya dirancang dengan baik. Standar dan tanda yang berlaku secara umum dapat dimengerti secara universal. Meski demikian budaya setempat dan kebiasaan masyarakat tidak bisa diabaikan. Sehingga pada setiap negara sering menambahkan hal-hal yang spesifik pada sistem informasi yang bersifat universal. Disamping tanda-tanda dan rambu-rambu yang bersifat universal ada juga tanda-tanda yang sangat spesifik terkait dengan bahasa, simbol atau apapun yang dimengerti oleh masyarakat setempat. Demikian pula dengan informasi yang berhubungan dengan fasilitas yang sangat spesifik, seperti rumah sakit khusus, taman bermain anak-anak dibawah umur 5 tahun, rumah jompo atau fasilitas lain dimana mayoritas pengunjung sangat spesifik terkait dengan budaya, gaya hidup, kondisi dan keterbatasan fisik.

Berbicara tentang sebuah tanda sebagai bagian dari sistem informasi adalah berbicara tentang simbol yang mempunyai makna tunggal dan dimaklumi secara umum oleh masyarakat. Tanda bulatan merah dengan garis putih ditengahnya memberikan makna tunggal dan dipahami oleh semua orang yang mengendarai kendaraan bermotor. Rambu ini bila terpampan pada ujung sebauh jalan, berarti bahwa kendaraan bermotor dilarang lewat jalan tersebut. Tanda ini tidak bisa dimaknai lain selain dengan makna yang telah disepakati sebagai sebuah aturan. Makna ini dipahami berdasarkan kesepakatan umum dan disosialisasikan kepada pengemudi kendaraan bermotor sebagai sebuah peraturan. Ketika simbol ini dirasakan kurang mampu memberikan informasi yang lebih spesifik, maka ditambahkan informasi tulisan dibawahnya. Misalnya dibawah tanda bulatan berwarna merah dengan garis tebal putih ditengahnya, ditambahkan tulisan “Pada Jam 7.00 – 10.00”. Artinya jalan ini dilarang dilewati oleh semua kendaraan bermotor dari jam 7 pagi hingga jam 10, setelah itu tanda ini tidak membawa makna yang disandangnya.

Sedemikian banyaknya tanda-tanda yang ada di jalan raya yang harus dipahami dan disepakati untuk diterima dan dilaksanakan oleh pemakai jalan raya. Sejumlah tanda-tanda yang masuk kedalam memori manusia sebagaimana data yang masuk ke dalam hard disc sebuah komputer. Tanda-tanda itu satu-persatu akan muncul dan memberikan makna kepada orang tersebut manakala tanda itu dibutuhkan untuk dimaknai dan untuk dipatuhi. Sedangkan pelanggaran terhadap tanda akan mambawa konsekuensi hukum, konsekuensi keselamatan pengguna jalan dan sebagainya. Hubungan antara tanda dan konsekuensi tersebut sudah dipahami sebagai sebuah skenario. Skenario ini tercipta dari korelasi antara makna tanda yang ada dan narasi yang terkait dengan tanda itu. Korelasi ini menciptakan skenario baru yaitu konsekuensi hukum atau akibat yang akan terjadi sesudahnya.

Hubungan sebab-akibat ini terjadi karena keberadaan satu tanda dengan tanda lainnya sebagai sebuah narasi (dalam hal ini adalah berbentuk hukum atau peraturan dengan sangsi-sangsi) saling terkait dan memberikan arti dan kekuatan pada tanda itu. Tanpa hukum atau peraturan dan sangsi yang mengikuti tanda itu, maka tanda itu akan kehilangan arti dan kekuatan sebagai sebuah tanda. Demikian juga sebuah informasi akan mempunyai kekuatan dan dipercayai maknanya ketika peristiwa yang menyertai sesuai dengan janji yang diinformasikan. Informasi bahwa kereta akan datang jam 8.30, menjadi tidak punya arti ketika tepat pada waktu yang ditentukan oleh tanda itu kereta tak datang.

Antara tanda, informasi atau rambu-rambu dengan realitas yang diharapkan bisa membangun suatu kepercayaan dan makna bagi masyarakat. Pengingkaran akan menimbulkan ketidakpercayaan dan tanda itu menjadi tanda yang tak punya makna atau bahkan bisa menjadi tanda yang khaotik. Sedangkan dalam kahidupan pemaknaan dan saling mempercayai dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang merdeka, saling menghormati dan menghargai. Merdeka dari ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain, merdeka karena ada perlindungan hukum, merdeka terhadap rasa ketidakpastian. Sekali lagi tanpa pemaknaan dan kepatuhan terhadap konvensi yang telah disandang oleh masing-masing tanda, maka kota kehilangan makna.

Pertanyaan yang mengakhiri tulisan ini adalah, “cukup sadarkah semua orang yang terkait dalam kehidupan di Jakarta ini akan makna dan perlunya sistem informasi, tanda-tanda lalu lintas dan rambu-rambu bagi kehidupan masyarakat yang tinggal dikota yang ingin disebut modern ini?” apa bila kita kembali pada pengalaman sebuah perjalanan dari Stasiun Pondok Kranji hingga ke Bandara Soekarno-Hatta disitu kita akan menemukan jawabnya. Akan lebih nyata lagi permasalahan ini apa bila kita mau menelusuri jalan-jalan kecil hingga jalan bebas hambatan atau masuk ke pasar-pasar basah hingga mal megah. Permasalahan ini juga tergambar dengan jelas dalam pameran yang kita hadapi yang bertajuk “Imagining Jakarta”. Dari satu sisi sempit “tanda dan sistem informasi” kita bisa meneropong bahwa impian dan harapan yang ingin kita rengkuh dalam kehidupan yang merdeka, saling menghormati dan menghargai di Jakarta ini masih jauh dari kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar